بسم الله الرحمن الرحيم

Sampaikanlah dari ku walaupun hanya satu ayat.”

(HR. Ahmad, Bukhari, Tarmidzi.)

Selasa, 24 Mei 2011

HIDAYAH ?

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”.          “Ihdi” berarti “pimpinlah, tunjukilah, beri hidayahlah”.

Arti “hidayah” ialah menunjukkan sesuatu jalan atau cara yang mengantarkan orang kepada yang ditujunya, dengan baik. Oleh karena itu, ada macam-macam hidayah yang telah diberikan Allah kepada manusia antara lain hidayah naluri, hidayah panca indra, hidayah akal pikiran dan hidayah agama.
a.     Hidayah Naluri (gharizah).
         Manusia begitu juga binatang dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukanlah dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”. Dalam bahasa arab disebut “gharizah”. Suatu misal, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Kelihatan oleh kita seorang bayi yang merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya mata susu ibunya, dihisapnyalah sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dia lakukan tanpa seorangpun  yang mengajarkan kepadanya. Bukan pula timbul dari pengalamannya. Melainkan hanya semata-semata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya untuk mempertahankan hidupnya. Kelihatan pula oleh kita lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang tersebut untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya masing-masing dengan dorongan nalurinya semata-mata.
         Gharizah-gharizah itu --sebagaimana telah disebutkan-- terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya, gharizah manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan sedangkan gharizah binatang tidak. Oleh sebab itu manusia bisa maju tetapi binatang tidak, hanya tetap seperti sediakala. Gharizah-gharizah itu adalah dasar bagi kebaikan, sebagaimana diapun juga dasar bagi kejahatan. Sebagai contoh:
  • Karena gharizah “ingin memelihara diri” maka orang berusaha, berniaga, bertani. Artinya, mencari nafkah secara halal. Tetapi karena gharizah “ingin memelihara diri” itu pulalah orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain.

  • Karena gharizah “ingin tahu” orang suka mempelajari ilmu. Tetapi karena gharizah itu pulalah orang suka mencari-cari “aib dan rahasia” sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan.

Demikianlah seterusnya dengan gharizah-gharizah yang lain.

Gharizah tidak dapat dihilangkan dan tak ada faedah membunuhnya. Ada ahli fikir dan pendidik yang hendak memadamkan gharizah karena melihat aspek yang tidak baik (jahat) itu, sebab itu diadakan oleh mereka macam-macam peraturan agar mengikat kemerdekaan anak-anak supaya gharizah jangan tumbuh atau kalau ada yang tumbuh  akan mati. Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu gharizah maka kelihatan seolah-olah gharizah telah padam. Tetapi manakala ada yang membangkitkannya maka grarizah akan timbul kembali. Oleh karena itu kendatipun gharizah merupakan dasar bagi kebaikan, sebagaimana dia juga menjadi dasar bagi kejahatan, tetapi kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya melainkan hanya mendidik dan melatihnya supaya dapat dimanfaatkan dan disalurkan kearah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam gharizah untuk menjadi hidayah (petunjuk) dan agar dipakai dengan cara yang bijaksana.
 
b.    Hidayah Pancaindera.
Karena gharizah sifatnya belum pasti maka  ia belum cukup untuk dijadikan hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu oleh Allah ta’ala manusia dilengkapi lagi dengan panca indera. Panca indera amat besar harganya terhadap pertumbuhan akal dan fikiran manusia. Para ahli pendidikan berkata “Al Hawassu abbaabulma’rifah” (Panca indera adalah pintu-pintu pengetahuan). Maksudnya, dengan panca indera manusia dapat berhubungan dengan alam yang di luar. Dalam arti, sampainya sesuatu dari alam yang diluar ke dalam otak manusia melalui panca indera. Namun demikia belum cukup juga untuk menjadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak benda dalam alam ini yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam Mahsusat (yang hanya dapat ditangkap oleh panca indera), ada lagi alam ma’qulat (yang hanya dapat ditangkap dengan akal). Panca indera hanya dapat menangkap alam mahsusat. Tangkapannya tentang yang mahsusat itupun tidak selamanya benar, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “Ilusi Optik” (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut “Khida’an Nazhar”. Oleh karena itu manusia membutuhkan lagi hidayah selain hidayah yang kedua ini. Maka dianugerahkan lagi oleh Allah hidayah yang ketiga yaitu “Hidayah Akal”.

c.     Hidayah Akal (fikiran) Dengan akal, dapatlah manusia menyalurkan gharizah ke arah yang baik, agar gharizah menjadi pokok bagi kebaikan. Dengan akal, dapatlah manusia membetulkan kesalahan-kesalahan panca inderanya, membedakan buruk dengan baik. Dengan akal, manusia bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai tangga kepada yang ma’qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasai untuk menyampaikannya kepada yang abstrak, ma’nawi dan ghaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Namun akal manusia belum juga memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Apalagi pendapat akal bisa bermacam-macam. Yang baik menurut fikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B. Malah banyak manusia salah mempergunakan akalnya, atau akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya. Hingga yang buruk menjadi baik dalam pandangannya dan yang baik menjadi buruk. Dengan demikian nyatalah bahwa gharizah ditambah dengan pancaindera dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia maupun di akhirat kelak.           Kalau diperhatikan agama-agama dan kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (Al Adyaan Al Wadh’iy-yah) tampak bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit suka beragama. Yang demikian itu ialah karena manusia mempunyai sifat merasa berhutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka dikala diperhatikannya dirinya dan alam yang disekelilingnya, seperti roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, akan merasa berhutang budilah ia kepada suatu “Dzat Yang Ghaib” yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar kepadanya. Didapatnyalah dengan akalnya bahwa “Dzat Yang Ghaib” itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya segala sesuatu yang ada di alam ini, segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena dia merasa berhutang budi kepada suatu “Dzat Yang Ghaib” itu maka difikirkannyalah bagaimana cara berterima-kasih dan membalas budi atau dengan perkataan lain bagaimana cara menyembah “Dzat Yang Ghaib” itu.
          Akan tetapi masalah cara menyembah “Dzat Yang Ghaib” adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Oleh sebab itu didalam sejarah tampak bahwa tidak pernah ada keseragaman  dalam hal ini. Bahkan akal fikirannya akan membawanya kepada kepercayaan membesarkan alam disamping membesarkan “Dzat Yang Ghaib” itu. Karena fikirannya masih sederhana dan karena belum dapat menggambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Dzat Yang Ghaib” maka dipilihnya diantara alam ini suatu yang besar, atau yang indah, atau yang banyak manfaatnya atau suatu yang ditakutinya untuk jadi perlambang bagi “Dzat Yang Ghaib” itu. Pernah ada yang mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, atau sungai-sungai, binatang dan lain-lain maka disembahnyalah benda-benda itu, sebagai lambang bagi menyembah Tuhan atau “Dzat Yang Ghaib” itu. Dan diciptakannyalah cara-cara beribadah (menyembah) benda itu. Dengan ini timbullah pula suatu kepercayaan yang dinamakan “Kepercayaan menyembah kekuatan alam”, sebagaimana terdapat di Mesir, Kaledonia, Babilonia, Assyria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
          Dengan penjelasan tersebut tampaklah bahwa manusia menurut fitrahnya suka beragama, suka memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan kemanakah kembalinya. Bila dia memikirkan “dari mana datangnya alam ini”, akan sampailah dia kepada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampailah dia kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan itu (Tauhid). Karena, akidah (keya-kinan) tentang keesaan Tuhan inilah yang lebih mudah, dan lebih lekas difahami oleh akal manusia. Dengan demikian dapatlah kita tegaskan disini bahwa manusia menurut nalurinya adalah beragama tauhid. Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaledonia pada mulanya adalah beragama tauhid, barulah kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja Namrudz meninggal, merekapun mendewakan dan menyembah Namrudz. Bangsa Assyiria-pun pada asalnya beragama tauhid, kemudian mereka telah lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka persekutukanlah Tuhan dengan bintang-bintang dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
          Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka kumandangkan dalam upacara-upacara peribadahan, jelaslah bahwa bukanlah seluruh bangsa Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan watsani, melainkan di antara mereka juga ada orang-orang muwahidin, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:
 
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa,
yang tiada sekutu bagi-Nya.
Dia menciptakan seluruh makhluk,
sedang Dia sendiri tak ada yangmenciptakan-Nya.
Dialah Tuhan Yang Maha Agung,
Pemilik langit Dan bumi,
dan Pencipta seluruh makhluk”

          Akan tetapi umat manusia yang dengan akalnya telah sampai kepada akidah tauhid, seringkali akidah tauhidnya menjadi kabur atau tidak murni lagi dan jadilah mereka “mempersekutukan Tuhan”. Biarpun para pendeta kadang-kadang takut dan segan untuk memberantas kepercayaan yang mempersekutukan Tuhan, akan tetapi dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid tidak pernah lenyap sama sekali. Kepercayaan kepada adanya suatu Dzat Yang Maha Esa tetap ada. Dialah Yang Maha Kuasa,Yang Maha Adil, Maha Pemurah, Pencipta seluruh yang ada. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa itu.
          Bangsa Arab sendiri sebelum datang agama Islam kalau ditanya, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah”. Dan kalau ditanya, ”Adakah Al Laata dan Al Uzza menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?” Mereka menjawab, “Tidak”. Mereka sembah dewa-dewa hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menceriterakan perkataan  musyrikin Arab itu:


MAA NA’BUDUHUM ILLAA LIYUQARRIBUUNAA ILALLAAHI ZULFAA.

“Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan (kedudukan) kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya”. (QS. 39. Az Zumar: 3).
          Manakala manusia memikirkan, “Kemanakah kembalinya alam ini?”, akan sampailah dia kepada keyakinan bahwa dibalik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan fikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan hidup di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, tentu saja tidak, walaupun manusia telah diberi oleh Allah akal untuk jadi hidayah baginya, disamping gharizah dan panca indera. Hidayah akal belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dan dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada akidah tauhid. Akan tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi. Manusia dengan mempergunakan akalnya memang dapat juga sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, akan tetapi dengan akal saja belum dapat mengetahui apa yang perlu dikerjakannya untuk kebahagiaan hidupnya di akhirat nanti.

          Maka untuk menyampaikan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikitpun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah dan untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanannya mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi pedoman bagi hidupnya di dunia ini, manusia membutuhkan hidayah yang lain disamping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka  didatangkanlah oleh Allah hidayah yang keempat yaitu “Agama” yang dibawa oleh para rasul as.

d.  
 Hidayah Agama.Oleh karena itu maka diutuslah oleh Allah rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
Yang pertama kali ditanamkan oleh para rasul adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan i’tikad manusia dari kotoran syirik (mempersekutukan Tuhan). Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Hal tersebut dapat kita simak melalui dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namrudz, Nabi Musa dengan Fir’aun, dan seruan-seruan  Al Qur’an kepada kaum musyrikin Quraisy agar mereka mempergunakan akal. Disamping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, para rasul juga membawa kepercayaan tentang akhirat, dan malaikat-malaikat.

Percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian itulah yang dinamakan “Al Iman bil Ghaib” (percaya kepada yang ghaib). Dan itulah yang jadi pokok bagi semua agama Ketuhanan. Semua agama yang datangnya dari Tuhan alias “Agama Samawi” mempercayai keesaan Tuhan, serta adanya malaikat, dan hari akhirat. Disamping ‘aqaid (kepercayaan-kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran. Mengenai hukum dan peraturan yang dibawa masing-masing rasul berlainan. Artinya, apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Sebabnya karena hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syari’at yang dibawa oleh nabi-nabi sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang  berlainan ialah hukum-hukum furu’ (cabang-cabang), sedangkan pokok hukum agama seperti akidahnya adalah sama. Berhubung Muhammad saw. adalah seorang Nabi Penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Tuhan sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
Agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kebahagiaan yang terakhir, telah dianugerahkan oleh Allah, tetapi adakah semua orang pandai mempergunakan senjata itu? Dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan olehNya?
Tidak!  Banyak manusia salah dalam menerapkan agama; beribadah (meyembah Allah) tidak sebagai yang diridhai oleh Yang Disembah. Melaksanakan syariat tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Pembuat syariat itu. Karena itu kita diajari oleh Allah memohonkan kepada-Nya agar diberi-Nya ma’unah, dibimbing dan dijaga-Nya selama-lamanya, serta diberi-Nya Taufik agar dapat memakai semua macam hidayah yang telah dianugerahkan-Nya itu menurut semestinya. Gharizah supaya dapat disalurkan kearah yang baik, panca indera supaya digunakan secara benar, akal supaya sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh Yang menurunkan agama itu, dengan tidak ada cacat, janggal dan salah.
Tegasnya, manusia yang meskipun telah diberi oleh Tuhan bermacam-macam hidayah namun belumlah cukup hanya dengan hidayah-hidayah saja, melainkan masih membutuhkan ma’unah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya). Adapun  yang dimaksud dengan taufik disini ialah kurnia Allah swt. kepada hamba-Nya sehingga dengan kurnia itu dia mampu mentaati perintah-Nya dan mampu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka ma’unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan kepada Allah. Dengan perkataan lain, Allah telah memberi kita hidayah-hidayah tersebut, tak obahnya seakan-akan dia telah membentangkan di muka kita jalan raya yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.

Sumber : www.akmaliah.com ; http://mediabilhikmah.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar